Satu pertanyaan yang seringkali saya temukan di lapangan "mengapa standard SNI 8799 Pusat Data tidak banyak diterapkan?" . SNI 8799 Pusat Data belum digunakan secara luas oleh perusahaan di Indonesia bukan karena tidak relevan, tetapi karena ada gap besar antara regulasi, pasar, dan praktik industri data center.
Tidak Pernah Menjadi "Regulatory Trigger"
Di Indonesia, standar baru akan dipakai kalau memenuhi salah satu ini:
- diwajibkan regulator,
- diminta di tender,
- disyaratkan auditor atau klien besar.
SNI 8799 Pusat Data tidak pernah disebut eksplisit dalam:
- Peraturan / perundangan terkait data center , kecuali mungkin terkait IKN
- regulasi Kominfo,
- aturan OJK,
- regulasi BSSN,
- dokumen tender pemerintah.
Akibatnya:
“Tidak ada risiko bisnis jika tidak pakai.”
Industri Data Center Indonesia Sudah “Terkunci” Standar Global
Operator data center di Indonesia (enterprise & colocation) sudah mapan dengan standar global:
Kebutuhan Pasar Standar yang Dipakai
- Availability - Uptime Institute Tier
- Security - ISO 27001
- Operations - ISO 22301, ISO 20000
- Client global - TIA-942, ANSI
📌 SNI 8799 datang terlambat ke pasar yang sudah standardized secara global.
Klien Tidak Pernah Menanyakan SNI 8799
Realita lapangan:
- Klien bertanya: “Tier berapa?” “ISO 27001 ada?” “DR site di mana?”
- Tidak pernah: “Apakah sudah SNI 8799?”
Dalam bisnis data center:
Standar yang tidak diminta klien = biaya tambahan tanpa ROI.
Tidak Ada Ekosistem Pendukung
Berbeda dengan ISO / Uptime:
- ada auditor,
- ada konsultan,
- ada training,
- ada sertifikasi SDM,
- ada tooling yang align.
SNI 8799:
- hampir tidak kelihatan ada: konsultan spesialis, auditor terakreditasi, tools assessment, studi kasus publik.
Akibatnya:
“Sulit diimplementasikan, sulit dipertahankan.”
Overlap dengan ISO & TIA → Dianggap Redundant
Banyak CIO melihat SNI 8799 sebagai:
- duplikasi ISO 27001 (security),
- duplikasi TIA-942 (infrastruktur),
- duplikasi ISO 22301 (continuity).
Tanpa positioning yang jelas:
“Kenapa harus tambah satu standar lagi?”
Tidak Dibundel dengan Produk & Solusi Nyata
Standar akan hidup kalau:
- dibawa vendor,
- jadi bagian proposal,
- melekat ke produk.
Contoh sukses:
- ISO 27001 → SIEM, SOC, GRC
- Tier → desain data center
SNI 8799:
- tidak pernah dibundle dengan: DCIM, NMS, EWS, managed services.
Fokus Industri Masih ke Build, Bukan Govern
Mayoritas DC Indonesia:
- fokus: build cepat, scale MW, kejar hyperscaler.
Governance & national resilience:
- dianggap: urusan regulator, bukan value jualan.
Ringkasan Singkat
SNI 8799 Pusat Data belum dipakai karena:
- Tidak diwajibkan regulator
- Tidak diminta klien
- Kalah kuat dari standar global
- Tidak ada ekosistem audit & konsultan
- Overlap dengan ISO/TIA
- Tidak embedded di produk
- Tidak punya positioning bisnis
Tapi Justru Ini Peluang Besar (Strategic Insight)
Dalam konteks Indonesia 2025–2030, SNI 8799 seharusnya diposisikan ulang sebagai:
🇮🇩 Standar Ketahanan Digital Nasional
Bukan pengganti ISO, tetapi:
- pelengkap data sovereignty,
- fondasi early warning system,
- baseline critical infrastructure,
- standar DC untuk sektor publik & BUMN.
Kami mau katakan, banyak pihak telah mendorong SNI 8799 ini untuk diterapkan. Mulai dari IDPRO, APTIKNAS, TUV, dan mungkin juga kita lihat banyak pelatihan untuk ini, tapi selama belum menjadi "kewajiban", ini tidak akan dikenal dan digunakan oleh perusahaan dan instansi.
Maka tugas kita bersama untuk terus menggalakkan, mendorong dan mengimplementasikan standar SNI 8799 yang telah kita bangun dan miliki bersama.
Tetap semangat membangun IT Indonesia.
Sumber : https://www.linkedin.com/pulse/strategi-2026-sni-8799-harus-diterapkan-fanky-christian-g3mjc/
